Selasa, 19 Oktober 2010

Mari dampingi putra putri kita

Mendampingi Anak Autis

Susie Evidia Y
Kata autis kini semakin familiar. Banyak orang menyebutkan, namun tidak memahami artinya. Akibatnya, makna autis sering disalahartikan. Orang yang melakukan aktivitas menyendiri, kini mendapat label autis. Orang, atau anak yang berperilaku kurang pas, lingkungan menghakimi dengan julukan autis. Seakan-akan autis diidentikkan berperilaku nega tif /menyimpang.

Kalangan peduli autis pernah mengimbau melalui jejaring internet agar menghentikan label-label salah kaprah yang berhubungan dengan autis. Karena pada dasarnya semua orang ingin hidup normal. Demikian juga dengan penderita autis, mereka mendambakan hidup normal. Mereka sendiri tidak menyadari apa yang dilakukannya. Karena gangguan perkembangan sehingga menunjukkan ketidaknormalan atau keterlambatan perkembangan dalam berinteraksi sosial.
Kini daripada sok tahu dan banyak mennghakimi orang dengan sebutan autis, lebih baik membaca lebih dulu buku 200 Pertanyaan dan Jawaban Seputar Autism. Buku ini menjelaskan dengan singkat dan rinci segala hal berkaitan dengan autisme. Mulai dari pertanyaan sangat mendasar apa itu autisme. Apakah itu penyakit, kutukan, atau gen yang diwariskan dari orang tua? Semua jawabannya terpapar di lembaran awal buku ini.
Pertanyaan berikutnya yang sering muncul, benarkah ibu yang stres saat hamil menghasilkan anak autis? Lalu apa saja penyebab autisme? Pertanyaan bertubi-tubi sering dilayangkan ibu hamil. Gayatri menjelaskan, hingga saat ini para ahli dari Amerika, Eropa, dan negara lainnya masih melakukan penyelidikan mengenai penyebab utama autisme. Beberapa hal disebut-sebut sebagai pemicu autis, seperti komplikasi sebelum dan sesudah melahirkan, vaksin MMR (Mumps, Measles, Rubella), dan polusi lingkungan. Pemicu lainnya faktor generik, keracunan logam berat, atau alergi terhadap makanan tertentu berupa produk tepung dan susu.
Namun kepastian dan kesimpulan berdasar riset mengenai autisme hingga kini belum terpecahkan. Dengan demikian para ahli sepakat, hingga kini belum ditemukan penyebab pasti munculnya autisme.
Orang tua sering waswas ketika si kecil enggan bertatapan mata saat bicara. Jangan-jangan anak saya autis. Memang sebagian besar anak autis tidak mau menatap lawan bicaranya. Tapi, untuk meyakinkan autis a {au tidaknya si buah hati, lebih baik mengetahui tujuh ciri utama autisme.
Yaitu 1. Apakah anak Anda memiliki rasa tertarik dengan anak lain? 2. Apakah anak Anda pernah menggunakan telunjuk untuk menunjuk rasa tertariknya pada sesuatu? 3. Apakah anak Anda menatap mata Anda lebih dari satu atau dua detik?
Lalu, yang ke-4, apakah anak Anda meniru Anda? Misalkan bila Anda membuat raut wajah tertentu, anak Anda akan menirunya. 5. Apakah anak Anda memberi reaksi bila namanya dipanggil? 6. Bila Anda menunjuk pada sebuah mainan/apa pun di sisi ruangan, apakah anak Anda melihat padamainan/benda tersebut. 7. Apakah anak Anda pernah bermain sandiwara, misalnya berpura-pura menyuapi boneka, berbicara di telepon, dan sebagainya?
Seorang anak berpeluang menyandang autisme, jika minimal dua dari tujuh pertanyaan di atas dijawab TIDAK. Orang tua segera melakukan pemeriksaan ke dokter untuk mengetahui diagnosis lebih lanjut. Karena lebih cepat terdeteksi, lebih mudah penanganannya.
Dari pengalaman para orang tua yang anaknya autis, gejala ini terlihat di saat anak berusia di bawah tiga tahun. Tetapi, ada juga orang tua yang mengamati bayinya berbeda dengan bayi lain di usia sembilan tahun. Bayi cenderung tidak melakukan kontak mata, tidak bereaksi ketika namanya dipanggil, dan tak menyukai dipeluk. Biasanya semakin tambah usia, gejala yang muncul semakin banyak.
Buku setebal 236 halaman ini menjawab pula kegelisahan orang tua yang baru mengetahui anaknya terdeteksi autisme. Gayatri dengan bijak berbagi pengalaman tentang langkah-langkah yang harus dilakukan orang tua.
Awalnya orang tua shock, tak percaya, mungkin juga tidak menerima kenyataan. Tapi, jangan berlarut-larut, karena si anak harus segeraditangani. Tenangkan diri, lalu gah sebanyak-sebanyaknya informasi mengenai autisme. Jika kondisi orang tua sudah tenang, pilih anggota keluarga atau sahabat yang diyakini akan mengerti dan memberikan dukungan. Di buku ini ditambahkan pula bagaimana cara orang tua memberitahu kepada anak I yang autis, kepada kakak-I adiknya, saudara, bahkan teman-teman sekolahnya. ¥ Gayatri yang juga ibu dariremaja penyandang autis berbagi pengalaman jenis-jenis terapi (atau kombinasi terapi) yang tepat untuk anak autis. Perlu dipahami, tidak ada terapi yang instan. Pengobatan dan terapi membutuhkan penanganan danwaktu yang tidak sebentar. Terapi dihentikan jika anak sudah bisa mandiri dan berpartisipasi dalam lingkungan sosial.
Tentunya ini membutuhkan dana yang tidak sedikit. Masalah keuangan, terutama bagi keluarga pas-pasan, sering menjadi kendala pengobatan anak-anak autis. Gayatri menyadari hal itu. Melalui Yayasan MPATI (Masyarakat Peduli Autisme Indonesia) yang ia dirikan pada 2004, ia memberdayakan orang tua untuk bisa melakukan terapi di rumah.
MPATI memproduksi video panduan penanganan autis secara berurutan sesuai kebutuhan dan perkembangan usia anak. VCD ini diberikan gratis kepada orang tua dan pendidik. Isinya panduan visual penanganan anak autis agar bisa patuh dan mandiri. Pada prinsipnya, yang utama diajarkan kepada anak autis adalah kemampuan untuk mandiri. Lebih dari 3.000 VCD telah disebarkan ke seluruh provinsi di Indonesia, merambah juga ke Singapura, Malaysia, dan Australia.
Ia merinci berbagai masalah yang dihadapi anak-anak autisme. Untuk memudahkan, dia membagi berdasarkan usia sehingga orang tua bisa fokus. Apa saja yang harus dilakukan menghadapi anak autis saat berusia di bawah lima tahun? Di usia lima tahun hingga 10 tahun? Pun perlakuan di saat anak memasuki usia remaja, hingga memasuki usia dewasa.
Bagaimana pula pendidikan yang tepat bagi anak autis? Pengalaman selama ini ada yang memasukkan ke sekolah formal, tetapi ada juga yang memasukkan ke SLB. Pertimbangan apa jika anak autis masuk ke sekolah formal? Dan apa saja yang harus dilakukan orang tua? Pertimbangan ap apula jika memasukkan ke SLB? Dan apa yang harus dilakukan orang tua?
Gayatri termasuk ibu yang sukses mengantarkan anaknya yang autis menjadi anak yang mandiri dan bisa bersosialisasi dengan masyarakat. Kuncinya, tekad yang kuat dan penanganan yang tepat melalui diagnosis akurat, pendidikan tepat, dan dukungan kuat bagi si anak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar